Menurut yang pernah saya baca, perilaku konsumen Indonesia itu berbeda dengan konsumen di Negara tetangga. Sumber wawancara disana berbicara dalam konteks handphone. Menelisik lebih jauh hal ini tertutama berkenaan dengan cara orang Indonesia memilih dan menggunakan produk yang tidak jarang berbeda dari apa yang dibutuhkan dan apa yang dibeli. Terkadang Image/kesan lebih berperan dalam pemilihan sebuah keputusan.
Bukan salah pabrikan/produsen jika tampaknya banyak konsumen yang gemes merasa dibodohi. Hal itu tidak lain karena konsumen sendiri yang tidak mempunyai kesadaran untuk meningkatkan pengetahuan mereka akan apa yang mereka butuhkan.
Disini jadi tampak masalahnya mungkin ada di konsumen itu sendiri alih-alih pemerintah yang juga memang tidak pernah mau mencerahkan pola pikir bangsa dengan pendidikan yang merata kualitasnya. Dari sisi marketing, kesuksesan proses marketing terutama dinilai dengan berapa banyak barang yang berhasil dijual. Dalam kondisi masyarakat yang seperti sekarang ini, penciptaan brand yang kuat lebih berpengaruh di pasar walaupun faktanya tidak semanis janji-janji produsen. Singkatnya terjadi kesenjangan ekspektasi konsumen terhadap sebuah produk dengan produk yang diberikan produsen.
Tapi lalu pertanyaannya adalah seberapa banyak konsumen cerdas yang memahami persoalan di atas? Untuk ilustrasi coba tengok cara seorang sales menawarkan barangnya ke konsumen. Sales ini paham betul karakteristik masyarakat kita yang selalu tergantung pada pemimpinnya, dengan sedikit kerja keras dia berhasil menjual satu unit motor ke kepada desa setempat. Kepala desa ini sangat dihormati. Hasilnya ajaib, penjualan motor sales ini melonjak dalam 1 bulan berikutnya. Artinya konsumen yang lain membeli motor karena ada keputusan sang kepala desa bukan atas pertimbangan sendiri.
Dulu pernah rebut-ribut di berbagai milis tentang oli top1 yang katanya iklannya ‘menipu’ (silahkan search thread2 berita ini di milis2). Lalu diikuti banyak komplain dari penggunanya. Sewajarnya kita berpikir, nih Oli pasti gak laku deh. Tapi ternyata saya salah, di bengkel-bengkel oli ini tetap laris kok. Sampai ada yang beli untuk motor Tiger nya. Lalu saya coba tanya,”Mas kenapa beli ini?” Lalu dijawabnnya,”Oli ini bagus Pak, coba aja deh, iklannya nya saja banyak yang pakai kok.” Begitu kira-kira percakapan pada waktu. Lalu mengertilah saya kalau memang informasi yang beredar hebat dimilis tidak bisa dibaca semua orang. Disini tampak penciptaan brand oleh produsen masih lebih kokoh daripada cerita-cerita nyata di milis.
Seorang kepala Bengkel Yamaha dibilangan Slipi, seorang Encik. Dia lalu bercerita, selama perjalanannya ke negara2 yang lebih maju di iindonesia, motor matic itu lebih laku daripada motor manual. Sama trend nya dengan mobil. Tapi di Indonesia terbalik karena identik dengan pemeliharaan yang katanya mahal (padahal image mahal biasanya diciptakan oleh konsumen sendiri). Lalu ada konsumen lain yang kawatir kalau pasti kesulitan untuk melihara motor matic, “Soalnya businya aja ngga keliatan, kalau mogok harus buka busi bagaimana?” Begitulah potret konsumen Indonesia.
Yamaha telah berhasil mengedukasi pasar dengan kemunculan motor maticnya. Padahal katanya ‘ngajarin’ orang Indonesia itu susah. Honda sukses bertahun-tahun dengan ngajarin orang Indonesia kalau motor itu harus irit.
Pesan yang ingin saya sampaikan adalah bahwa pabrikan tidak sepenuhnya salah dengan peluncuran produk2 nya yang sebagian konsumen nilai sebagai produk dibawah standar. Justru para produsen itu hanya menjual barang yang tampaknya ‘memenuhi’ kebutuhan konsumen. Cerita sedihnya adalah potret konsumen Indonesia yang tingkat penerimaan terhadap teknologi baru memang terbilang rendah. Coba lihat meski katanya motor Honda menurun kualitasnya, tapi masih banyak kan yang melihat Honda sebagai pilihan utama karena mereka tidak tahu dengan hal2 kecil diatas? Tapi AHM pintar, penciptaan brand sebagai motor irit memang lebih menggoda ketimbang pilihan lainnya. Dan itu diterima sebagian besar konsumen motor Indonesia.
Jadi siapa nih yang dibodohi siapa?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment